Baca juga Ulasan / Review / resensi cerita Film Laskar Pelangi di bagian Bawah
Lirik Lagu Laskar Pelangi OST. Laskar Pelangi - Nidji
Mimpi adalah kunci
untuk kita menaklukkan dunia
berlarilah
tanpa lelah sampai engkau
meraihnya
laskar pelangi
takkan terikat waktu
bebaskan mimpimu di angkasa
warnai bintang di jiwa
menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia
selamanya...
cinta kepada hidup
memberikan senyuman abadi
walau hidup kadang tak adil
tapi cinta lengkapi kita
oooo..oooo
laskar pelangi
takkan terikat waktu
jangan berhenti mewarnai
jutaan mimpi di bumi
menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia
selamanya...
Mimpi adalah kunci
untuk kita menaklukkan dunia
berlarilah
tanpa lelah sampai engkau
meraihnya
laskar pelangi
takkan terikat waktu
bebaskan mimpimu di angkasa
warnai bintang di jiwa
menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia
selamanya...
cinta kepada hidup
memberikan senyuman abadi
walau hidup kadang tak adil
tapi cinta lengkapi kita
oooo..oooo
laskar pelangi
takkan terikat waktu
jangan berhenti mewarnai
jutaan mimpi di bumi
menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia
selamanya...
Klik Download Mp3 Soundtrack Film laskar pelangi disini
Resensi Cerita Film Laskar Pelangi
sumber : feureau.com
Laskar Pelangi adalah bagian pertama dari tetralogi karangan Andrea Hirata yang menulis film ini berdasarkan pengalaman hidupnya. Walau sebuah autobiografi, penggunaan nama2 fiksional menandakan bagian2 dari serian ini adalah fiksi. Gw sendiri belom baca bukunya. Kemaren abis nonton mau beli, ternyata harus 69rb. Udah gitu tebel. Akhirnya tadi gw download aja. Cuman ~700kb. Tapi males bacanya. Gw lagi baca Michelangelo & plafon sang Paus.
Anyway, Kisah ini mengikuti 10 anak yang sekolah di sebuah SD gubuk, di Belitong, dimana sebuah perusahaan tambang timah bermerk Timah menimbang timah & yang kerja disono ceritanya dapet sekolah di SD PN Timah. Walau klaim sang narrator bahwa kekayaan alam Belitong dirampas perusahaan tersebut, dan rakyat disitu tidak mendapat menikmati hasilnya, SD PN timah menggunakan meja2 baru dipoles dengan pensil yang selalu baru diserut dengan kontras gubuknya SD Muhammadiyah. Kontras ini dipertajam dengan SD Timah selalu memakai seragam yang baru dijahit dan memakai batik hari Senin, dan murid2 SD Muhammadiyah, dipakaikan baju satu2nya.
Menariknya, film ini tidak ditulis dengan bahasa baku selayaknya film indonesia biasa, namun masih disuntik peribahasa indonesia baku untuk accesibility.
Seperti laiknya film seperti ini, 10 anak ini memiliki keteguhan hati baja untuk bersekolah, dimana gurunya, walau ditekan oleh departemen pendidikan untuk menutup sekolah tersebut, karena tidak ada angkatan lain selain angkatan 10 anak ini, terus tegar mengajar sampe kepala sekolahnya mati di kantor, meninggalkan guru cenya sendirian ngajar 10 anak, yang lalu putus asa, namun anak2 ini tetap tegar untuk terus belajar sendiri. Namun sayang sekali, walau kisah ini sebenarnya adalah kisah tentang Lintang & ... siapa tuh nama anak pemeran utamanya? Penuturan cerita ini sangatlah vague tentang kisah siapa ini yang diceritakan, dengan 1/20 bagian pertamanya menceritakan tentang... siapa tuh nama pemeran utamanya, yang balik kampung, 1/3 kemudian menceritakan tentang 2 guru teladan seideal film jaman orde baru, 1/3 kemudian tentang ... apapula lah termasuk cinta yang cintanya ga kerasa & kerasa konyol (audience ketawa, nggak bisa disangkal), dan 1/3 terakhir menekankan bahwa mereka harus belajar lebih tekun untuk sesuatu yang harus mereka menangkan, yang ternyata cuma lomba cerdas cermat, yang terancam gagal karena seekor buaya ngehalangin jalan anak yang paling pinter.
Idealisme warisan jaman orde baru seperti ini sayangnya meracuni film dari dunia "yang sempurna" ini, dan dengan clichenya anak yang paling pinter pun bapaknya tewas melaut supaya dia bisa putus sekolah & menafkahi adik2nya.
Waktu pertama melihat film ini, saya merasa film ini sepertinya dibuat oleh orang lulusan sekolah seni. (dan ternyata iya, Riri Riza lulusan IKJ) Dimana ada adegan si tokoh utama jatuh cinta ketika melihat tangan ce Chinese yang terang benderang lengkap dengan lens flare dan bunga2 berjatuhan. Juga betapa hancur dunianya ketika dia mendapati ce tersebut pindah ke Jakarta dengan berjatuhannya benda2 di sekitarnya.
Kontrasnya aktor berpengalaman yang bermain di film ini membuat aktor2 amatir di film ini menonjol seperti jempol yang merah. Entah apa ini kurang arahan dari sutradara, atau bagian kasting, tapi sebagian anak di film ini tampaknya mereka cuma senang aja bisa muncul di layar lebar, dan kurang mengerti peran mereka.
Sinema Indonesia masih harus banyak belajar dari Sinema asing tentang struktur cerita, sinematografi dan simbolisme.
Seperti yang diangkat Mbah Fauzie, warna film ini sangat belel. Laiknya warna film Dono/Kasino/Indro di tahun 80an. Saya tahu Indonesia bisa membuat film dengan warna yang baik dan lebih konstan antara adegan, seperti film Jalangkung dulu yang ditransfer ke DVD pun warnanya masih baik.
Namun, akhirnya ada film indonesia yang bukan tentang cerita cinta ataupun sesetanan. Walau katanya film denias mengangkat topik yang sama, sepertinya kisahnya nggak sebesar ini.
Inti dari film ini adalah harapan untuk anak Indonesia yang paling terpuruk. Kalau anak yang sekolah di SD bobrok di pedalaman bisa sekolah di Paris, tentu saja siapapun bisa menggapai impian mereka. Sayang sekali dalam produksi film ini, tidak tertekankan impian si anak ini untuk menuju ke Paris, walau telah di hint hint dengan kaleng dengan gambar menara eiffel, dan pencapaian "Impian" ini jatuh secara tiba2 ketika, siapa tuh namanya pemeran utamanya, kembali ke Belitong untuk memberitahu temannya yang putus sekolah, bahwa dia telah mendapat beasiswa ke Paris, Sorbonne.
Ini adalah jenis film yang diperlukan masyarakat indonesia, namun bukan film dengan kualitas produksi yang patut mereka dapatkan. Terutama mereka yang tidak mampu membayar 15-20 ribu untuk menonton di studio berAC.
Demikian resensi ini ditulis tanpa pengetahuan tentang kisah dari buku aslinya, namun ditulis secara kritis hanya berdasarkan filmnya.